Bom
Granat
Senapan
Serangan udara
Mayat
Darah
Teriakan
Binara...
Terselip kata Binara dalam pikiran Jinta. Kumpulan kata - kata itu adalah hal - hal yang membawa kenangan buruk baginya. Membawa luka masa lalu. Saat Jinta meninggalkan mimpinya untuk menjadi jurnalis, saat ia terpaksa menjadi tentara atas kecintaannya terhadap nippon, saat ia meninggalkan keluarganya, saat ia melihat teman - temannya tewas di medan perang. Namun, Binara. Nama itu. Meninggalkan luka, tidak hanya di permukaan. Binara, menyebabkan luka yang mendalam, menggerogoti hati Jinta, menghantui Jiwanya selama berpuluh - puluh tahun.
Binara, seorang putri kepala suku dayak yang Jinta temui saat Nippon mendatangi Borneo. Jinta mengingat semua. Mengingat bagaimana ia pertama kali melihat Binara. Binara menari. Jinta mengingat seperti apa Binara. Rambutnya yang hitam legam, matanya yang lembut namun menatap tajam, senyumnya yang ramah dan dapat mencairkan hati.
Sebelum bertemu Binara, Jinta berpikir bahwa manusia diciptakan berbeda - beda, agar salah satu kaum menjadi pemimpinnya. Karena sejak kecil, terdapat pemikiran yang ditanamkan dalam dirinya bahwa Nippon adalah pemimpin yang tepat bagi dunia. Namun, satu senyuman dari Binara dapat meruntuhkan pemikiran yang telah lama melekat dalam dirinya itu. Ia berubah pikiran. Jinta berpikir bahwa semua manusia adalah sama. Karena itu ia bisa mencintai Binara. Ya, karena Jinta dan Binara, ialah sama. Tak ada lagi dinding yang membatasi mereka.
Jinta juga selalu mengingat apa yang telah mereka lalui. Saat ia dapat berbicara dengan bebas bersama Binara, saat Binara memperhatikan hal - hal kecil tentangnya, saat Jinta pertama kali memegang tangan Binara.
Kenangan tentang Binara dapat membuat Jinta tertawa kecil, namun akan membawa pahit pada akhirnya. Mengingat mereka yang tak bisa bersama
Suatu pagi, kepala suku yang merupakan ayah Binara ditembak hingga tak bernyawa oleh Jenderal. Setelah itu, terjadi perlawanan dari rakyat dayak secara terus menerus, mendesak keadaan Jepang di tanah Borneo. Jinta tertombak, namun rasa sakit itu tak melebihi rasa sakit Jinta saat mengetahui bahwa ia akan dipulangkan kembali ke Jepang. Ia ingat saat memberitahu Binara tentang kepulangannya. Di sebuah kebun, Binara mengobati lukanya. Binara khawatir dengan keadaan Jinta yang bersimbah darah. Namun Jinta lebih khawatir akan Binara ketika ia sudah dipulangkan. Untuk sesaat, terlihat kesedihan dalam raut wajah Binara. Namun ia mencoba untuk mengerti, ia membiarkan Jinta pergi.
Jinta memang pergi, namun ia tak pernah meninggalkan Binara. Seringkali mereka berkirim surat, bertukar cerita. Jinta berjanji untuk kembali ke Borneo jika tugasnya telah usai.
Namun tugas Jinta telah usai 30 tahun yang lalu, dan ia tak pernah kembali ke Borneo. Bahkan mendengar kata Borneo saja sudah membuat Jinta muak.
Pagi itu, Jinta sudah hampir menyerah untuk menunggu surat dari Binara. Binara yang biasanya selalu membalas suratnya, sudah berbulan - bulan tidak ada kabarnya. Namun sore hari, datanglah sebuah surat yang ditujukan untuknya. Ia membukanya. Surat itu dari Binara. Angannya sudah membumbung tinggi, namun terhempas kembali. Sayang sekali, dalam surat itu, Binara memberitahu Jinta bahwa ia sudah menikah dengan seorang bangsawan agar bisa menggantikan posisi ayahnya sebagai kepala suku.
Semenjak itu, Jinta tak ingin mengenal apa itu Borneo, atau siapa itu Binara. Karena Binara memberinya rasa sakit yang tak biasa. Binara menyakitinya bukan dengan menembakkan peluru padanya, tetapi dengan meninggalkannya. Jinta sempat berpikir akan lebih baik jika ia telah mati dalam medan perang. Namun ia masih memiliki alasan untuk hidup. Mimpi terbesarnya telah hilang, yaitu Binara. Jinta memutuskan untuk menghidupkan mimpi lamanya, menjadi seorang jurnalis.
Jinta yang sekarang, seorang jurnalis, hampir berkepala enam, dan hidup sendirian. Ia tak menikah, tak memiliki anak, namun memiliki keponakan yang rajin mengurusnya.
Jinta yang sekarang,sering sekali menatap langit, memikirkan Binara. Tak memungkiri bahwa Binara masih menguasai benaknya. Berpikir, dulu ia dan Binara pernah menghirup udara yang sama, berlari di tanah yang sama.
Jinta yang sekarang, meski mengaku membenci Binara, namun tetap menyimpan surat terakhir dari wanita itu. Tetap menerka - nerka apa yang terjadi padanya. Apakah ia sehat ? Apakah ia bahagia ? Apakah ia sudah memiliki cucu ?
Ah, banyak sekali pertanyaan yang berkelebat dalam pikiran Jinta. Namun, ada satu pertanyaan yang terpajang jelas, dalam hatinya, dalam pikirannya, yang tidak bisa hilang. Pertanyaan itu sangat ingin ia ketahui jawabannya.
Pertanyaan itu : Apakah Binara juga merindu ?
***based on : Surat Untuk Tanah Borneo (my own script)