Jumat, 05 Maret 2021

Pertiwi

 Tak disangka di hari itu, langit memutuskan untuk menurunkan sebuah agoni

Duka menyentuh bumi seakan tak ada esok hari

Lara menyelimuti pertiwi hingga sesak hati

Setiap hari lembaran kisah terbuka menyingkap ironi

Tanpa mengetahui apa itu kata henti

Ibu pertiwi yang sedang sendu berbisik pada kami

Luka ini, boleh menjadi sebuah alasan untuk bermuram durja 

Boleh menjadi alasan untuk menjatuhkan air mata

Tapi tak cukup untuk menghadang kita

Para putera negeri, tuk senantiasa berdoa dan berusaha

Tak cukup untuk menghentikan kita

Putera pertiwi yang setia, tuk menghimpun asa

Bahwa derita hanya sementara

Nestapa kan sirna

Dan lengkung senyum ibu pertiwi, kan kita kembalikannya 

Jumat, 27 Oktober 2017

KITA



Aku sudah hampir lupa
Dulu kita bisa
Saling menatap mata
Tanpa ku harus berpaling malu
Dulu kita terbiasa
Saling berbicara
Tanpa berpikir apa yang harus ku ucap padamu
Dulu kita selalu
Tertawa dengan lepasnya
Tanpa peduli betapa hambarnya leluconmu
Dulu kita memastikan
Untuk bersisian dimanapun berada
Tanpa rasa canggung yang mengganggu

Namun, bukankah itu dulu...
Saat diriku belum bertindak bodoh 
Saat dirimu belum memutuskan untuk menjauh
Saat kita masih belum menyadari segalanya

Aku telah mengetahuinya
Sekarang kita bisa
Bertahan dengan diri sendiri
Tanpa perlu saling membantu
Sekarang kita terbiasa
Mendengar suara - suara di sekitar
Tanpa mendengar suaraku atau suaramu
Sekarang kita selalu
Memilih tempat bersinggah
Dimana tak ada diriku atau dirimu
Sekarang kita memastikan
Untuk menjalankan hari
Tanpa tahu ceritamu atau ceritaku

Ya, bukankah kau lebih suka sekarang ?
Saat diriku melihatmu tak peduli
Saat dirimu melihatku berpura - pura baik - baik saja
Saat kita seolah - olah tak pernah bertemu




Rabu, 14 Juni 2017

KEJUTAN



Hidup terus memberi kejutan...
Seperti perubahan - perubahan yang merambat halus, hingga menyelimuti seluruh cerita.
Seperti harapan yang terbakar hangus oleh kenyataan berbeda.

Hidup terus memberi kejutan...
Seperti kita yang tiba - tiba berdiam diri, meski dulu saling berbicara.
Seperti kita yang tiba - tiba menolehkan muka, meski dulu saling menatap mata.

Hidup terus memberi  kejutan...
Seperti kita yang tiba - tiba membangun tembok pemisah, meski dulu berusaha tuk kita robohkan
Seperti kita yang tiba - tiba menjauh, meski dulu berdekatan

Kejutan, 
Mungkin hidup memang butuh kejutan.
Meski kejutan dapat mengguncang, memaksa kita melepas bagian - bagian hidup, memaksa kita melihat perubahan yang tak diinginkan.

Kejutan,
Mungkin dapat memberi pelajaran.
Bahwa tak selamanya orang di sekitar kita, akan menjadi orang yang sama.
Bahwa hidup tak kan bermakna bila hal yang menetap sejak awal selalu ada.
Bahwa hari ini, tak akan sama dengan keesokannya.

Jumat, 09 Juni 2017

Surat Untuk Tanah Borneo


Bom

Granat

Senapan

Serangan udara

Mayat

Darah

Teriakan

Binara...

       Terselip kata Binara dalam pikiran Jinta. Kumpulan kata - kata itu adalah hal - hal yang membawa kenangan buruk baginya. Membawa luka masa lalu. Saat Jinta meninggalkan mimpinya untuk menjadi jurnalis, saat ia terpaksa menjadi tentara atas kecintaannya terhadap nippon, saat ia meninggalkan keluarganya, saat ia melihat teman - temannya tewas di medan perang. Namun, Binara. Nama itu. Meninggalkan luka, tidak hanya di permukaan. Binara, menyebabkan luka yang mendalam, menggerogoti hati Jinta, menghantui Jiwanya selama berpuluh - puluh tahun. 

       Binara, seorang putri kepala suku dayak yang Jinta temui saat Nippon mendatangi Borneo. Jinta mengingat semua. Mengingat bagaimana ia pertama kali melihat Binara. Binara menari. Jinta mengingat seperti apa Binara. Rambutnya yang hitam legam, matanya yang lembut namun menatap tajam, senyumnya yang ramah dan dapat mencairkan hati.

       Sebelum bertemu Binara, Jinta berpikir bahwa manusia diciptakan berbeda - beda, agar salah satu kaum menjadi pemimpinnya. Karena sejak kecil, terdapat pemikiran yang ditanamkan dalam dirinya bahwa Nippon adalah pemimpin yang tepat bagi dunia. Namun, satu senyuman dari Binara dapat meruntuhkan pemikiran yang telah lama melekat dalam dirinya itu. Ia berubah pikiran. Jinta berpikir bahwa semua manusia adalah sama. Karena itu ia bisa mencintai Binara. Ya, karena Jinta dan Binara, ialah sama. Tak ada lagi dinding yang membatasi mereka.

       Jinta juga selalu mengingat apa yang telah mereka lalui. Saat ia dapat berbicara dengan bebas bersama Binara, saat Binara memperhatikan hal - hal kecil tentangnya, saat Jinta pertama kali memegang tangan Binara.

       Kenangan tentang Binara dapat membuat Jinta tertawa kecil, namun akan membawa pahit pada akhirnya. Mengingat mereka yang tak bisa bersama

       Suatu pagi, kepala suku yang merupakan ayah Binara ditembak hingga tak bernyawa oleh Jenderal. Setelah itu, terjadi perlawanan dari rakyat dayak secara terus menerus, mendesak keadaan Jepang di tanah Borneo. Jinta tertombak, namun rasa sakit itu tak melebihi rasa sakit Jinta saat mengetahui bahwa ia akan dipulangkan kembali ke Jepang. Ia ingat saat memberitahu Binara tentang kepulangannya. Di sebuah kebun, Binara mengobati lukanya. Binara khawatir dengan keadaan Jinta yang bersimbah darah. Namun Jinta lebih khawatir akan Binara ketika ia sudah dipulangkan. Untuk sesaat, terlihat kesedihan dalam raut wajah Binara. Namun ia mencoba untuk mengerti, ia membiarkan Jinta pergi.

       Jinta memang pergi, namun ia tak pernah meninggalkan Binara. Seringkali mereka berkirim surat, bertukar cerita. Jinta berjanji untuk kembali ke Borneo jika tugasnya telah usai.

       Namun tugas Jinta telah usai 30 tahun yang lalu, dan ia tak pernah kembali ke Borneo. Bahkan mendengar kata Borneo saja sudah membuat Jinta muak.

       Pagi itu, Jinta sudah hampir menyerah untuk menunggu surat dari Binara. Binara yang biasanya selalu membalas suratnya, sudah berbulan - bulan tidak ada kabarnya. Namun sore hari, datanglah sebuah surat yang ditujukan untuknya. Ia membukanya. Surat itu dari Binara. Angannya sudah membumbung tinggi, namun terhempas kembali. Sayang sekali, dalam surat itu, Binara memberitahu Jinta bahwa ia sudah menikah dengan seorang bangsawan agar bisa menggantikan posisi ayahnya sebagai kepala suku.

       Semenjak itu, Jinta tak ingin mengenal apa itu Borneo, atau siapa itu Binara. Karena Binara memberinya rasa sakit yang tak biasa. Binara menyakitinya  bukan dengan menembakkan peluru padanya, tetapi dengan meninggalkannya. Jinta sempat berpikir akan lebih baik jika ia telah mati dalam medan perang. Namun ia masih memiliki alasan untuk hidup. Mimpi terbesarnya telah hilang, yaitu Binara. Jinta memutuskan untuk menghidupkan mimpi lamanya, menjadi seorang jurnalis.

       Jinta yang sekarang, seorang jurnalis, hampir berkepala enam, dan hidup sendirian. Ia tak menikah, tak memiliki anak, namun memiliki keponakan yang rajin mengurusnya.

       Jinta yang sekarang,sering sekali menatap langit, memikirkan Binara. Tak memungkiri bahwa Binara masih menguasai benaknya. Berpikir, dulu ia dan Binara pernah menghirup udara yang sama, berlari di tanah yang sama.

       Jinta yang sekarang, meski mengaku membenci Binara, namun tetap menyimpan surat terakhir dari wanita itu. Tetap menerka - nerka apa yang terjadi padanya. Apakah ia sehat ? Apakah ia bahagia ? Apakah ia sudah memiliki cucu ?

       Ah, banyak sekali pertanyaan yang berkelebat dalam pikiran Jinta. Namun, ada satu pertanyaan yang terpajang jelas, dalam hatinya, dalam pikirannya, yang tidak bisa hilang. Pertanyaan itu sangat ingin ia ketahui jawabannya.

Pertanyaan itu : Apakah Binara juga merindu ?

***based on : Surat Untuk Tanah Borneo (my own script)






Kamis, 01 Juni 2017

MENUNGGU



Menunggu...
Bukankah itu adalah kata yang biasa
Biasa sekali untuk kau dengar
Biasa sekali untuk kau rasa
Di setiap fajar 
Di setiap senja

Mungkin kau memang telah terbiasa
Karena aku selalu berkata,
Aku menunggumu

Kau tak pernah bertanya,
Dimana aku menunggu
Aku tak berharap kau tanya
Karena aku tak menunggumu di suatu tempat,
Tetapi di setiap langkah kau ada

Kau tak pernah bertanya,
Kapan aku menunggu
Aku tak berharap kau tanya
Karena aku tak menunggumu di suatu waktu,
Tetapi dari waktu yang lalu, hari ini, esok, bahkan selamanya

Kau tak pernah bertanya, 
Meski tak kan pernah dihampiri, mengapa aku tetap menunggu
Aku tak berharap kau tanya
Karena aku hanya orang bodoh yang mengetahui cerita kan berakhir buruk, namun tetap percaya akhirnya akan bahagia

Menunggu...
Bukankah itu adalah kata yang biasa
Biasa menderu mengganggumu
Biasa berbisik padamu

Biasa pula tuk dibiarkan berlalu
Biasa pula memberi pilu

Sabtu, 25 Maret 2017

PROMETTRE



Janji, 
Pernahkah dirimu berjanji pada diri sendiri ?
Kalau pernah, apa janji itu ditepati ?
Kalau tidak ditepati, mengapa itu terjadi ?

Apa seperti diriku ?

Yang dulu pernah berjanji...
Untuk selalu melangkahkan kaki
Namun saat melihatnya, ku malah berhenti

Yang dulu pernah berjanji...
Untuk mendengar kata hati 
Namun saat menemukannya, hanya kata - katanya yang berarti

Yang dulu pernah berjanji...
Untuk hilangkan dirinya dari memori
Namun saat hadirnya, senyumnya tak habis - habis ku resapi

Janji,
Mungkin seharusnya jangan berjanji
Apalagi pada diri sendiri
Karena akan selalu ada alasan untuk janji itu tak ditepati
Seperti sebuah senyuman di pagi hari

Janji,
Mungkin seharusnya jangan lagi
Apalagi pada orang seperti ini
Karena akan selalu ada alasan untuk janji itu terhindari
Seperti seseorang yang tak beranjak dari sisi

Sabtu, 04 Maret 2017

Apa Yang Kan Terjadi ?



Apa yang kan terjadi
Bila engkau tak di sini
Mungkin lembayung menjadi kelabu
Ikut melukiskan rindu

Apa yang kan terjadi
Bila engkau tak di sini
Mungkin hujan tetap terjaga
Menyiratkan air mata

Apa yang kan terjadi
Bila engkau tak di sisi
Mungkin surya kan kurangi sinar
Seiring dengan redupnya binar

Apa yang kan terjadi
Bila engkau tak di sisi
Mungkin angin berhembus sepi
Mengisi hampanya hati

Apa yang kan terjadi
Bila engkau telah pergi
Mungkin hari tetap berganti
Tanpa makna, tanpa arti